Oleh: Juniar Purba
Setiap tanggal 28 Juni akan dilaksanakan upacara ziarah bersama ke Makam Juang Mandor. Menyimak pada tanggal tersebut, mungkin beberapa diantara kita akan bertanya, mengapa harus ziarah ke Mandor dan apa yang pernah terjadi disana? Apalagi kalau dilihat sepintas lalu sekarang ini, sekitar kawasan makam tersebut sudah seperti hamparan pasir putih yang bersih dari pepohonan, keadaan tanah yang berlobang-lobang membentuk sumur-sumur dan bahkan hutan-hutannya hampir punah. Namun, terlepas dari penglihatan tersebut, sekarang yang menjadi perhatian dan renungan bagi kita adalah bahwa di tempat tersebut pada masa Jepang pernah terjadi suatu peristiwa sejarah yang tidak akan terlupakan bagi masyarakat Kalimantan Barat .
Dalam catatan sejarah daerah Kalimantan Barat, Mandor memiliki catatani penting pada masa pendudukan Jepang. Daerah ini pernah menjadi saksi bisu peristiwa pembantaian besar-besaran terhadap 21.037 orang anak bangsa, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, seperti para raja, pengusaha, cerdik pandai dan masyarakat biasa telah menjadi korban keganasan Jepang tersebut.
Menurut Borneo Sinbun, terbitan 1 Juni 1944 atau Sabtoe, 1 Sitigatu 2604 menurut kalender Jepang dan sampai sekarang copy atau tulisan ini masih terdapat di Makam Juang Mandor, disana dikatakan Komplotan Besar jang mendoerhaka oentoek melawan Dai Nippon soedah dibongkar sampai ke akar-akarnja. Dalam berita Borneo Sinbun terbitan Pontianak itu, terlihat bahwa Jepang sudah memutarbalikkan berita yang tidak akan dapat diterima oleh rakyat Kalimantan Barat, yang seolah-olah para korban keganasan tersebut mereka anggap sebagai para penjahat (komplotan). Namun, itulah sejarah yang pernah terjadi dan menjadi pelajaran serta gambaran terhadap kita untuk lebih waspada akan segala sikap dan janji-janji dari para penguasa negara asing yang ingin memperluas dan mempertahankan kekuasaannya dengan mengorbankan rakyat Kalbar yang tidak berdosa .
Jepang di Kalimantan Barat
Apabila dilihat dari segi waktunya, penjajahan Belanda jauh lebih lama dari pada Jepang. Tetapi, pemerintahan Jepang (1942-1945) yang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif singkat tersebut telah meninggalkan sejarah hitam bagi masyarakat Kalimantan Barat.
Pada mulanya, kedatangan Jepang pada bulan Februari 1942 di Kalimantan Barat mendapat sambutan hangat dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari tokoh politik, pemuda, pengusaha dan lainnya, karena mereka menganggap Jepang adalah sebagai saudara tua yang berhasil menyingkirkan Kolonial Belanda dari Kalbar. Tetapi, kenyataannya anggapan itu keliru karena Jepang sudah mulai berani melakukan kekerasan terhadap rakyat dan mengharuskan rakyat untuk memberi salam apabila berpapasan. Bagi yang tidak melakukan akan dipukul ataupun ditampar. Selain itu Jepang mulai melarang setiap perkumpulan atau organisasi dan bahkan memusnahkan radio milik masyarakat, karena mereka curiga apabila tokoh atau pejuang Kalbar melakukan pertemuan dan sempat mendengar berita tentang kekuasaan mereka.
Selama masa Jepang, rakyat Kalbar hidup dalam ketakutan atas penindasan yang dilakukan. Mereka tidak segan-segan untuk menyakiti dan bahkan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma atau adat istiadat masyarakat, seperti pelecehan terhadap kaum perempuan baik yang gadis ataupun yang sudah bersuami. Akibat dari perbuatan tersebut, sering muncul protes ataupun gerakan-gerakan perlawanan rakyat dimana-mana. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Pang Suma di daerah Meliau.
Mengetahui semakin banyak gerakan rakyat yang merupakan perlawanan spontan tersebut, Jepang mulai khawatir akan akibatnya. Apalagi menjelang penyerahan Jepang pada sekutu (1944) dan disusul dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki. Oleh karena itu, Jepang mulai melakukan pembersihan terhadap para penguasa, pejabat pemerintahan, para pengusaha dan yang dianggap berpengaruh terhadap masyarakat Kalbar. (sumber: Pontianak Post)
Jumat, 03 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar