MANDOR-ONLINE
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat akhirnya menetapkan 28 Juni sebagai hari berkabung daerah. Ini dikaitkan dengan tragedi pembantaian ribuan warga Kalimantan Barat oleh penjajah Jepang yang diperkirakan berlangsung sejak April hingga Juni 1943. Tetapi, monumen Juang Mandor yang sudah lama dibangun kini kondisinya memprihatinkan.
Sinar mentari yang terik di akhir Juni lalu tidak menyurutkan semangat ratusan warga Kalimantan Barat untuk hadir di Makam Juang Mandor Kabupaten Landak. Kalangan pemerintahan, anak sekolah, dan masyarakat kebanyakan hadir. Mereka larut dalam suasana haru peringatan Tragedi Mandor Berdarah.
Di tempat itulah, 64 tahun silam, puluhan ribu rakyat Kalimantan Barat (Kalbar) dibantai dan dikuburkan secara massal oleh penjajah Jepang.
"Saya tidak menyangka kalau lapangan yang kami bangun untuk latihan perang justru menjadi ladang pembantaian puluhan ribu rakyat Kalimantan Barat oleh penjajah Jepang," ungkap Kasilam (79), salah seorang lelaki yang ikut dalam upacara peringatan tersebut.
Kasilam merupakan mantan anggota Kaigun Heiho, semacam angkatan perang bentukan Jepang yang anggotanya direkrut dari warga pribumi. Lelaki yang berasal dari Sekip Lama (Kota Singkawang) ini bergabung dengan Kaigun Heiho tahun 1942.
Membuka hutan
Awal 1943, ia bersama anggota Heiho lainnya diperintahkan membuka hutan di kawasan Mandor untuk dijadikan tempat latihan perang.
"Waktu itu kami baru tahu kalau tempat itu lalu dijadikan lokasi pembantaian dan kuburan massal setelah ada pemberitaan di media massa. Saat terjadi pembantaian massal, anggota Heiho tidak dilibatkan," katanya.
Sejarah peristiwa pembantaian puluhan ribu rakyat Kalbar pada tahun 1943-1944 itu memang sulit diungkapkan secara rinci. Satu-satunya catatan sejarah yang hingga kini dijadikan rujukan untuk mengungkap peristiwa itu hanyalah pemberitaan Borneo Shinbun, koran terbitan Jepang di Kalbar, edisi 1 Juli 1943. Di situ disebutkan, 21.037 rakyat Kalbar dibantai dan dikuburkan secara massal di daerah Mandor, sedangkan orang-orang yang mengalami masa itu dan sekarang masih hidup juga tidak bisa bercerita banyak mengenai apa yang terjadi.
Sudarto, peneliti di Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Kalbar menengarai penjajah Jepang juga membunuh orang-orang Indonesia yang diperintahkan menguburkan korban pembantaian massal itu. Akibatnya, tidak satu pun saksi mata yang tersisa dan melihat langsung peristiwa pembantaian itu, selain tentara Jepang.
Jejak peristiwa sejarah itu baru bisa terangkai dari pemberitaan media massa kala itu, penuturan keluarga dari tokoh masyarakat yang saat itu ditangkap oleh penjajah Jepang, serta temuan ribuan tengkorak dan tulang manusia di kawasan Mandor pada tahun 1949.
Sejumlah tokoh yang waktu itu sempat ditangkap penjajah Jepang antara lain Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadrie, Penembahan Sanggau Ade Muhammad Ari, Panembahan Ketapang Gusti Saunan, Panembahan Sintang Raden Abdullah Daru Perdana, Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid, serta beberapa tokoh Tionghoa seperti Tjhai Pin Bin, Tjong Tjok Men, dan Thai Sung Hian.
Penangkapan dan pembantaian tokoh-tokoh masyarakat itu dilakukan mulai 23 April-Juni 1943. Menurut Sudarto, Jepang melakukan pembantaian itu untuk menggagalkan rencana pemberontakan yang akan digagas oleh tokoh-tokoh masyarakat itu. Jepang khawatir kalau pemberontakan yang terjadi di Banjarmasin juga akan terjadi di wilayah Kalbar.
Monumen perjuangan
Kekhawatiran ini muncul karena dua tokoh perjuangan dari Banjarmasin, yakni dr Soesilo dan Malay Wei, datang menemui para tokoh masyarakat di Kalbar sekitar Januari 1943.
Tokoh-tokoh masyarakat yang ditangkap saat itu dibawa ke Mandor dalam keadaan tangan terikat dan kepalanya ditutup dengan karung. Setelah sampai di Mandor, mereka dibunuh dengan menggunakan samurai, lalu dikuburkan secara massal dalam sebuah lubang besar.
Pada 1977, Gubernur Kalbar Kadarusno berinisiatif mendirikan monumen Makam Juang Mandor untuk mengenang peristiwa bersejarah itu. Sejak saat itu, di monumen tersebut hampir tiap tahun dilakukan peringatan Tragedi Mandor Berdarah. Baru pada Juni 2007, Pemerintah Provinsi Kalbar menerbitkan peraturan daerah yang menetapkan 28 Juni sebagai hari berkabung daerah.
Upaya yang dilakukan Pemprov Kalbar itu tampaknya belum cukup untuk menunjukkan kepedulian terhadap sejarah bangsa. Pasalnya, kawasan yang menjadi tempat monumen Makam Juang Mandor itu keadaannya memprihatinkan. Sebagian dari kawasan itu telah rusak akibat penambangan emas tanpa izin (PETI). Di sekitar lokasi makam, banyak dijumpai lubang-lubang galian tambang emas serta hamparan pasir bekas galian tambang emas.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalbar Tri Budiarto menyatakan, sedikitnya ada 12 kelompok PETI yang hingga kini masih beroperasi di kawasan itu. Masing-masing kelompok yang beranggotakan 8-12 orang bekerja dengan menggunakan mesin diesel sehingga laju kerusakan lingkungan di sana berlangsung cepat. Diperkirakan, setiap harinya masing-masing kelompok memproduksi tujuh gram emas serta menggunakan zat berbahaya, merkuri, sebanyak tujuh gram untuk mengolahnya.
PETI mulai merambah kawasan Makam Juang Mandor sekitar tahun 1980. Menurut Sudarto, jauh sebelum itu, sejak 1830, penambangan emas malah sudah ada di wilayah Mandor hingga Monterado. Sebelumnya, penambangan emas itu hanya di sekitar sungai. Setelah kandungan emas di sekitar sungai itu menipis, mereka mulai masuk ke hutan, temasuk di kawasan Makam Juang Mandor.
Keprihatinan akan kerusakan lingkungan di kawasan Makam Juang Mandor akibat PETI terus bergulir. Berbagai kalangan mendesak agar pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan kawasan monumen itu sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap sejarah bangsa.
"Makam Juang Mandor seharusnya tidak hanya menjadi monumen perjuangan yang hanya dikunjungi sekali dalam setahun. Monumen ini seharusnya bisa menjadi tempat pembelajaran sejarah sehingga dibutuhkan penataan kawasan yang lebih baik. Kemiskinan yang menjadi akar persoalan PETI harus ditangani secara komprehensif. Hukum seharusnya juga ditegakkan untuk mengatasi PETI itu," kata Sudarto. Akankah Pemprov Kalbar tanggap terhadap persoalan kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian monumen bersejarah itu? Kita tunggu saja upaya konkret yang akan ditempuh untuk mengatasi persoalan PETI di kawasan Makam Juang Mandor. (sumber: www.kompas.com)
Senin, 30 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar