MANDOR. Para pejabat dan masyarakat Kabupaten Landak dihimbau agar berhati-hati terhadap penipuan berkedok minta transfer uang dengan mengatasnamakan pejabat lain. Baru-baru ini dua pejabat menjadi korban. Dia adalah Kepala SMPN I Mandor dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas) Landak.
Kapolres Landak AKBP Drs Tony Ep Sinambela Msi melalui Kasat Reskrim AKP Hujra Soemena Sik menerangkan, Kepala SMPN 1 Mandor bernama Vinsesius Sufyan berawal mendapat telpon dari nomor handpon 081242266488 yang mengatasnamakan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar. Modusnya si penelpon tersebut memberikan kabar kalau SMPN 1 Mandor tahun ini mendapat bantuan proyek rehabilisasi gedung sekolah dengan anggaran mencapai Rp.500 juta. Tapi, kata si penelpon tersebut, untuk mencairkan dana, pihak sekolah harus mentransfer uang sebagai administrasi berjumlah Rp. 129 juta. “Jadi Kepsek tersebut langsung mentrasfer uang di rekening BRI dan Bank Mandiri di Jakarta sampai delapan kali, terakhir tanggal 10 Juli kemarin,” ungkap Hujra.
Kemudian, lanjut Hujra, kepsek tersebut terus menghubungi si penelpon agar dia bertemu dengannya. Tapi dibalasnya selalu sibuk kegiatan dengan Gubernur Kalbar. Ujung-ujungnya nomor hanpohon sudah tidak aktif. “Barulah dilaporkan di Polsek Mandor,” ujar Hujra.
Hal sama juga dialami Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Landak Drs. Edward Ramukdin juga ditipu hingga uang Rp.15 juta melayang. Adapun modusnya, si penelpon mengatasnamakan Kapolres Landak AKBP Drs Tony Ep Sinambela Msi dengan meminta pinjaman uang sebasar Rp.15 juta dan akan dikembalikan. Diketahui kalau itu penipuan setelah pihak bendahara instansi tersebut menagih di Polres dan ternyata nama Kapolres dicatut. “Ada bendaharanya datang di Mapolres sini, katanya mau menagih. Terkejut Kapolres mana ada pinjam uang,” ujar Hujra.
Untuk itu, Hujra menghumbau kepada para pejabat dan masyarakat dengan maraknya penipuan via telepon dan mencatut nama seseorang belakangan ini agar selalu hati-hati dan jangan mudah percaya. Jika memang ada yang meminta sejumlah uang atau barang lain dengan mengatasnama orang lain agar di lakukan konfirmasi kebenarannya. “Jangan main transfer, karena belum tentu itu benar seperti kasus yang dialamai Kepsek SMPN 1 Mandor,” tegas Hujra. (rie)
Minggu, 12 Juli 2009
Tertarik Angrek Bulan Albino Sejak Pandangan Pertama
*Mengoleksi Tanaman Anggrek; dari Hobi m menjadi Mata Pencaharian
Pedalaman hutan Mandor, Landak tersimpan pesona si cantik ini. Phalaenopsis Alba (Alphino) atau angrek bulan albino, keindahan sangat eksotik sehingga benar-benar menggoda. Tak heran jika keberadaannya selalu menjadi incaran.
SEPINTAS bentuk fisik dari bunga hutan ini terlihat biasa saja. Namun, segalanya menjadi lain tatkala bunganya mekar. Tak seperti angrek bulan kebanyakan, angrek bulan albino ini memiliki ciri keunikan yang tersediri. Seluruh kelopak bunganya berwarna putih terang. Angrek bulan albino terbilang spasial karena ia lahir dari perkawinan silang alami dari beberapa jenis angrek lain di hutan. Proses persilangannya tentu bisa berlangsung sangat lama. Selain bentuk fisiknya yang beda, angrek bulan albino ini juga memiliki sejumlah keistimewaan. Salah satunya adalah memiliki kekuatan tiga kali lebih kuat dari angrek sejenis dalam menahan serangan penyakit.
Angrek langka ini ditemukan Suranto S.PKP, pemilik Agro Dwi Mandiri yang berkedudukan di Mandor. Keikutsertaannya dalam Borneo Orchid Show (BOS) dalam memeriahkan HUT Emas Untan Pontianak ini tidak lain untuk memperkenalkan keanekaragamanan hayati, khususnya angrek hutan, yang ada dibelantara Mandor, Landak.
Angrek bulan albino ditemukan secara tidak sengaja saat Suranto sedang mencari varietas angrek alam di hutan Mandor. Tanpa sengaja, tida-tiba dirinya melihat ada tumbuhan angrek yang hidup menyendiri di sebuah batang pohon tua. Karena penasaran, tanaman yang menarik hatinya itu pun dipanjat. “Saat pertama kali melihatnya, saya langsung jatuh hati. Angrek ini benar-benar membawa hoki bagi saya,” ungkapnya ramah.
Karena terbilang istimewa, oleh Sutanto angrek bulan albino tersebut ditempatkan dalam tempat yang lebih spesial. Soal perawatan, dirinya mengaku tidak memberi perlakukan khusus. Meskipun demikian, tetap memantau perkembangan angrek kesayangannya setiap hari. Selain menampilkan angrek bulan albino, pada kesempatan BOS Untan ini Suranto juga memamerkan koleksi angrek kesayangannya yang lain.
Dua tanaman andalannya adalah Kantong Semar (Nephentis Bicalcarata) dan San Sangk. Kantong semar hanya dapat dijumpai di daerah yang beriklim tropis, seperti hutan di pedalaman Kalimantan. Ia tumbuh di tempat yang beriklim mikro yang lembab. Semakin tua usianya, maka warna kantongnya akan berubah menjadi kemerahan. Yang unik lagi, duri yang ada dimulut kantongnya juga semakin besar dan tajam. “Kantong Semar jenis ini pernah dibeli oleh turis Jepang untuk kemudian dibawa pulang ke negeri mataheri terbit,” terangnya.
Tanaman yang tak kalah istimewa adalah San Sangk. Keunikan tanaman ini terletak dari kandungan zat yang ada di daunya. Zat tersebut dapat mengubah rasa pahit menjadi manis. Penggunaan daun San Sangk telah lama dimanfaatkan masyarakat pedalaman dalam masakan daun ubi kayu. Dengan mencampurkan beberapa lembar daun San Sangk maka rasa pahit yang ada pada daun ubi kayu dapat hilang. (sumber: Pontianak Post)
Pedalaman hutan Mandor, Landak tersimpan pesona si cantik ini. Phalaenopsis Alba (Alphino) atau angrek bulan albino, keindahan sangat eksotik sehingga benar-benar menggoda. Tak heran jika keberadaannya selalu menjadi incaran.
SEPINTAS bentuk fisik dari bunga hutan ini terlihat biasa saja. Namun, segalanya menjadi lain tatkala bunganya mekar. Tak seperti angrek bulan kebanyakan, angrek bulan albino ini memiliki ciri keunikan yang tersediri. Seluruh kelopak bunganya berwarna putih terang. Angrek bulan albino terbilang spasial karena ia lahir dari perkawinan silang alami dari beberapa jenis angrek lain di hutan. Proses persilangannya tentu bisa berlangsung sangat lama. Selain bentuk fisiknya yang beda, angrek bulan albino ini juga memiliki sejumlah keistimewaan. Salah satunya adalah memiliki kekuatan tiga kali lebih kuat dari angrek sejenis dalam menahan serangan penyakit.
Angrek langka ini ditemukan Suranto S.PKP, pemilik Agro Dwi Mandiri yang berkedudukan di Mandor. Keikutsertaannya dalam Borneo Orchid Show (BOS) dalam memeriahkan HUT Emas Untan Pontianak ini tidak lain untuk memperkenalkan keanekaragamanan hayati, khususnya angrek hutan, yang ada dibelantara Mandor, Landak.
Angrek bulan albino ditemukan secara tidak sengaja saat Suranto sedang mencari varietas angrek alam di hutan Mandor. Tanpa sengaja, tida-tiba dirinya melihat ada tumbuhan angrek yang hidup menyendiri di sebuah batang pohon tua. Karena penasaran, tanaman yang menarik hatinya itu pun dipanjat. “Saat pertama kali melihatnya, saya langsung jatuh hati. Angrek ini benar-benar membawa hoki bagi saya,” ungkapnya ramah.
Karena terbilang istimewa, oleh Sutanto angrek bulan albino tersebut ditempatkan dalam tempat yang lebih spesial. Soal perawatan, dirinya mengaku tidak memberi perlakukan khusus. Meskipun demikian, tetap memantau perkembangan angrek kesayangannya setiap hari. Selain menampilkan angrek bulan albino, pada kesempatan BOS Untan ini Suranto juga memamerkan koleksi angrek kesayangannya yang lain.
Dua tanaman andalannya adalah Kantong Semar (Nephentis Bicalcarata) dan San Sangk. Kantong semar hanya dapat dijumpai di daerah yang beriklim tropis, seperti hutan di pedalaman Kalimantan. Ia tumbuh di tempat yang beriklim mikro yang lembab. Semakin tua usianya, maka warna kantongnya akan berubah menjadi kemerahan. Yang unik lagi, duri yang ada dimulut kantongnya juga semakin besar dan tajam. “Kantong Semar jenis ini pernah dibeli oleh turis Jepang untuk kemudian dibawa pulang ke negeri mataheri terbit,” terangnya.
Tanaman yang tak kalah istimewa adalah San Sangk. Keunikan tanaman ini terletak dari kandungan zat yang ada di daunya. Zat tersebut dapat mengubah rasa pahit menjadi manis. Penggunaan daun San Sangk telah lama dimanfaatkan masyarakat pedalaman dalam masakan daun ubi kayu. Dengan mencampurkan beberapa lembar daun San Sangk maka rasa pahit yang ada pada daun ubi kayu dapat hilang. (sumber: Pontianak Post)
Sabtu, 11 Juli 2009
Di Mandor Mega-Pro Menang Telak
Pasangan Capres Megawati-Prabowo (Mega-Pro) unggul sementara di lima kecamatan di Kabuten Landak. Sementara posisi kedua pasangan Soesilo Bambang Yodhoyono-Boediono (SBY-Boediono) dan posisi tiga pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win). Dari data yang berhasil dikumpulkan Equator dari masing-masing Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hingga pukul 19.00 wib tadi malam tercatat, Kecamatan Air Besar dari 4 desa Mega-Pro 1.955 suara, SBY-Boediono 676 suara dan JK-Win 92 suara. Kecamatan Kuala Behe dari 17 TPS Mega-Pro 2.532 suara, SBY-Boediono 1.385 suara dan JK-Win 115 suara. Kecamatan Menyuke dari 14 desa, Mega-Pro mengantongi 11.348 suara, SBY-Boediono 3.260 suara dan JK-Win 319 suara. Kecamatan Mandor sudah dikatakan final yakni dari 17 desa, Mega-Pro 11.461 suara, SBY-Boediono 3.808 suara dan JK-Win 498 suara. Sementara di PPK Ngabang hingga pukul 19.00 tadi malam baru akan dilakukan rekapitulasi perhitungan suara.
Pantauan Equator dilapangan, pelaksanaan Pilpres di Kabupaten Landak terlihat di sejumlah TPS tidak terlalu banyak antrean panjang seperti saat Pemilu Legislatif (Pileg) lalu yang sejak pagi warga sudah berbondong-bondong mendatangi TPS. Tapi, kemarin sejak TPS dibuka pukul 08.00, petugas KPPS masih terlihat menunggu pemilih. Seperti di TPS 128 di parkiran hotel Dangau Landak, dari pantauan Equator, petugas KPPS lebih banyak duduk santai, karena warga yang datang hanya satu per satu.
Sementara Bupati DR Adrianus As menyatakan, bukan tidak ada gairah warga untuk mendatangi TPS, tapi memang Pilpres dengan Pileg sangat beda. Sehingga karena saat ini lebih gampang, maka pemilih tidak terlihat menumpuk di ruang tunggu dan hanya htungan menit saja sudah selesai mencontreng. “Saya kira bukan sepi tak ada antusias warga. Karena kalau pada pemilu legislatif itu surat suara besar dan empat lembar, kalau sekarang hanya satu sekali buka langsung bisa di contreng, saya saja hanya satu menit,” ujar Adrianus kepada wartawan usai meninjau,
Pantauan Equator dilapangan, pelaksanaan Pilpres di Kabupaten Landak terlihat di sejumlah TPS tidak terlalu banyak antrean panjang seperti saat Pemilu Legislatif (Pileg) lalu yang sejak pagi warga sudah berbondong-bondong mendatangi TPS. Tapi, kemarin sejak TPS dibuka pukul 08.00, petugas KPPS masih terlihat menunggu pemilih. Seperti di TPS 128 di parkiran hotel Dangau Landak, dari pantauan Equator, petugas KPPS lebih banyak duduk santai, karena warga yang datang hanya satu per satu.
Sementara Bupati DR Adrianus As menyatakan, bukan tidak ada gairah warga untuk mendatangi TPS, tapi memang Pilpres dengan Pileg sangat beda. Sehingga karena saat ini lebih gampang, maka pemilih tidak terlihat menumpuk di ruang tunggu dan hanya htungan menit saja sudah selesai mencontreng. “Saya kira bukan sepi tak ada antusias warga. Karena kalau pada pemilu legislatif itu surat suara besar dan empat lembar, kalau sekarang hanya satu sekali buka langsung bisa di contreng, saya saja hanya satu menit,” ujar Adrianus kepada wartawan usai meninjau,
Jumat, 10 Juli 2009
Sejarah Kedatangan Orang-orang Cina di Kalbar
Sejarah Kongsi
Kongsi adalah perkumpulan pertambangan Cina di wilayah barat Pulau Borneo / Kalimantan. Pertambangan-pertambangan yang dikerjakan oleh orang-orang Cina ini adalah tambang-tambang emas yang tersebar di pesisir utara Wilayah Kalimantan sebelah barat ini. Sebagian besar tambang-tambang emas itu berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas itu pertama kali datang ke wilayah Kalimantan Barat ini adalah pada tahun 1740 M yang didatangkan oleh Raja Panembahan Mempawah yaitu Opu Daeng Menambon. Kemudian pada sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan Abubakar Kamaluddin juga mendatangkan orang-orang Cina untuk pertama kali wilayah Kesultanan Sambas untuk mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara. Dalam hal ini status orang-orang Cina ini adalah pekerja-pekerja tambang yang bekerja pada Sultan Sambas. Sebagian hasil tambang itu disisihkan untuk upah para pekerja tambang emas itu dan sebagian lagi adalah merupakan penghasilan bagi Kesultanan Sambas sebagai pemilik negeri.
Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan pertambangan emas di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas, pada sekitar tahun 1764 M terjadi gelombang besar-besaran orang-orang Cina yang didatangkan oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II ke wilayah Kesultanan Sambas menyusul begitu banyaknya ditemukan tambang-tambang emas baru di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas ini.
Pada sekitar tahun 1767 M jumlah orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau Kalimantan ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas sudah mencapai hingga belasan ribu orang.
Karena jumlah orang-orang Cina yang semakin besar ini dan mereka berkelompok-kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing, maka pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok ini kemudian mendirikan semacam perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut dengan nama Kongsi. Kongsi-kongsi ini (yang saat itu berjumlah sekitar 8 Kongsi) menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun Kongsi-kongsi itu diberi keleluasaan secara terbatas oleh Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri seperti pengangkatan pemimpin Kongsi dan pengaturan kegiatan pertambangan masing-masing. Sedangkan mengenai hasil tambang emas, disepakati bahwa Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin menyisihkan sebagian hasil tambang emas mereka untuk diserahkan kepada Sultan Sambas bagi penghasilan Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagi hasil dari Kongsi-Kongsi Cina itu sebanyak 1 kg emas murni setiap bulannya, belum termasuk penerimaan oleh Pangeran-Pangeran penting di Kesultanan Sambas dari Kongsi-kongsi itu.
Pada tahun 1770 M mulai timbul semacam pembangkangan dari kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas ini terhadap Sultan Sambas. Pembakangan ini berupa penolakan mereka untuk memberikan sebagian hasil tambang emas kepada Sultan Sambas yaitu sebesar 1 kg emas murni setiap bulannya. Para kongsi itu hanya bersedia memberikan bagi hasil tambang emas sebesar setengah kg atau separuh dari kesepakatan sebelumnya padahal saat itu kegiatan pertambangan emas di wilayah Kesultanan Sambas ini semakin berkembang.
Hal ini kemudian membuat Sultan Sambas marah apalagi kemudian terjadi pembunuhan oleh orang-orang Cina Kongsi terhadap petugas-petugas pengawas Kesultanan Sambas (yang adalah orang-orang Dayak) yang ditugaskan oleh Sultan Sambas untuk mengawasi kegiatan tambang emas Kongsi itu, sehingga kemudian Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Umar Aqamaddin II mengirimkan pasukan Kesultanan Sambas menuju daerah kongsi-kongsi yang melakukan makar dan pembakangan itu. Setelah gerakan pasukan Kesultanan Sambas telah berlangsung selama sekitar 8 hari dan belum sempat terjadi pertempuran besar antara pasukan Kesultanan Sambas dengan pihak kongsi, kemudian pihak kongsi itu ketakutan hingga kemudian mengakui kesalahannya dan bersedia untuk tetap membayar bagi hasil tambang emas kepada Sultan Sambas sesuai dengan kesepakatan sebelumnya yaitu sebesar 1 kg emas setiap bulannya.
Semakin lama jumlah Kongsi yang ada semakin bertambah dan pada sekitar tahun 1770 M, telah ada sekitar 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas dan saat itu terdapat 2 Kongsi yang terbesar yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1774 M terjadi pertempuran antara kedua buah kongsi terbesar di wilayah Kesultanan Sambas yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Kongsi Thai Kong kemudian berhasil mengalahkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong bubar.
Kedatangan Lo Fang Pak
Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah Kesultanan Sambas) pada usia sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.
Kedatangan orang-orang Cina dari daratan Cina ini adalah atas permintaan sultan-sultan Melayu saat itu yang mendatangkan para pekerja tambang emas dari daratan Cina yaitu untuk melakukan kerja-kerja tambang yang memang keahlian dan kesulitan pekerjaan tambang saat itu hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang Cina. Permintaan pekerja tambang dari Cina daratan saat itu merupakan satu trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai oleh kerajaan Melayu yang ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu di pesisir utara dan timur Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin I) baru kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir wilayah Pulau Kalimantan bagian barat.
Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan yang pertama mendatangkan pekerja tambang dari daratan Cina adalah Panembahan Mempawah yang waktu Rajanya adalah Opu Daeng Menambon yaitu pada sekitar tahun 1740 M. Kebijakan Panembahan Mempawah ini kemungkinan atas saran dari Adik Opu Daeng Menambon yaitu Opu Daeng Celak yang saat itu sedang menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu mendatangkan pekerja dari Cina daratan untuk tambang timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik. Namun demikian saat itu Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang Cina untuk pekerja tambang (emas) pertama kali adalah berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar mencari emas) yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.
Setelah itu didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina yaitu di daerah Mandor yang saat itu merupakan wilayah Panembahan Mempawah. Setelah beberapa tahun mengerjakan tambang emas di Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian mengindikasikan satu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir banyak mengandung emas. Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari Kesultanan Sambas yaitu daerah yang bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas mengenai potensi emas di Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas kemudian mengijinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang Cina dengan syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang dari Cina ini dan sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Maka kemudian dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750 M yaitu tambang emas kedua setelah di Mandor.
Sungguh di luar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas ini sangat melimpah ruah. Setelah Montraduk berturut-turut dibuka lagi tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat memuaskan. Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-orang China semakin melimpah ke wilayah Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga, sekampung halaman atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar tahun 1770 M telah ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di wilayah Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas itu adalah berada di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka masyarakat Hakka dari China yang bernama Lo Fong Pak ke daerah Kongsi yang ada di Wilayah Kesultanan Sambas.
Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di Mandor menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan diantara mereka dari ancaman pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara Kongsi Thai Kong dan Lan Fong di tahun 1774 M yang lalu. Salah satu dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo Fong Pak dengan Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasi Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi diwilayah Kesultanan Sambas tetapi adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).
Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah dimana 12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur pertambangan serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan orang-orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah Mandor saat itu juga terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu, berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas yang seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek).
Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah Muara Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada tahun 1771 M) yang terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak. Berdirinya Kesultanan Pontianak di Muara Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari Raja Kerajaan Landak karena secara historis wilayah muara Sungai Landak adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak. Namun VOC Belanda karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak mengendurkan protes kerasnya.
Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit banyak membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu sehingga inilah salah satu yang kemudian membuat Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan Mempawah padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan Mempawah.
Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Untuk mendukung serangan ini Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong untuk ikut serta dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Menghadapi serangan ini, Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.
Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak menjadi semakin kuat dan dekat sehingga kemudian Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) diberikan kewenangan yang lebih luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.
Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang yang di interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah "Republik Lan Fang" padahal didalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata Republik. Disamping itu kata Republik adalah untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat walaupun mendapat status otonomi khusus namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan merupakan suatu negara merdeka. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik Lan Fang" itu tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.
Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum untuk menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin "Ta Tang Chung Chang" atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin "Lan Fang Ta Tong Chi". Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).
Kejatuhan Lan Fong Kongsi
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya Daerah Otonomi Khusus tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya Kongsi Lan Fong tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua Kongsi kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani kesepakatan kerjasama dengan Belanda. Penandatanganan kesepakatan tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong dalam pengaruh Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan Kongsi Lan Fang. Kongsi Lan Fang kemudian kehilangan otonomi dan beralih dari daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang berpusat di Montraduk menolak diperintah oleh Belanda, sehingga Kongsi Tahi Kong diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Thai Kong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun. Perlawan Kongsi Thai Kong terhadap Belanda ini juga kemudian melibatkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong kemudian juga diserang Belanda dan ditaklukkan Belanda, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), Ketua Kongsi Lan Fong yang terakhir. Sebagian warga Kongsi Lan Fong kemudian mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi pemimpin boneka.
Kongsi adalah perkumpulan pertambangan Cina di wilayah barat Pulau Borneo / Kalimantan. Pertambangan-pertambangan yang dikerjakan oleh orang-orang Cina ini adalah tambang-tambang emas yang tersebar di pesisir utara Wilayah Kalimantan sebelah barat ini. Sebagian besar tambang-tambang emas itu berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas itu pertama kali datang ke wilayah Kalimantan Barat ini adalah pada tahun 1740 M yang didatangkan oleh Raja Panembahan Mempawah yaitu Opu Daeng Menambon. Kemudian pada sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan Abubakar Kamaluddin juga mendatangkan orang-orang Cina untuk pertama kali wilayah Kesultanan Sambas untuk mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara. Dalam hal ini status orang-orang Cina ini adalah pekerja-pekerja tambang yang bekerja pada Sultan Sambas. Sebagian hasil tambang itu disisihkan untuk upah para pekerja tambang emas itu dan sebagian lagi adalah merupakan penghasilan bagi Kesultanan Sambas sebagai pemilik negeri.
Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan pertambangan emas di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas, pada sekitar tahun 1764 M terjadi gelombang besar-besaran orang-orang Cina yang didatangkan oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II ke wilayah Kesultanan Sambas menyusul begitu banyaknya ditemukan tambang-tambang emas baru di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas ini.
Pada sekitar tahun 1767 M jumlah orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau Kalimantan ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas sudah mencapai hingga belasan ribu orang.
Karena jumlah orang-orang Cina yang semakin besar ini dan mereka berkelompok-kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing, maka pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok ini kemudian mendirikan semacam perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut dengan nama Kongsi. Kongsi-kongsi ini (yang saat itu berjumlah sekitar 8 Kongsi) menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun Kongsi-kongsi itu diberi keleluasaan secara terbatas oleh Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri seperti pengangkatan pemimpin Kongsi dan pengaturan kegiatan pertambangan masing-masing. Sedangkan mengenai hasil tambang emas, disepakati bahwa Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin menyisihkan sebagian hasil tambang emas mereka untuk diserahkan kepada Sultan Sambas bagi penghasilan Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagi hasil dari Kongsi-Kongsi Cina itu sebanyak 1 kg emas murni setiap bulannya, belum termasuk penerimaan oleh Pangeran-Pangeran penting di Kesultanan Sambas dari Kongsi-kongsi itu.
Pada tahun 1770 M mulai timbul semacam pembangkangan dari kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas ini terhadap Sultan Sambas. Pembakangan ini berupa penolakan mereka untuk memberikan sebagian hasil tambang emas kepada Sultan Sambas yaitu sebesar 1 kg emas murni setiap bulannya. Para kongsi itu hanya bersedia memberikan bagi hasil tambang emas sebesar setengah kg atau separuh dari kesepakatan sebelumnya padahal saat itu kegiatan pertambangan emas di wilayah Kesultanan Sambas ini semakin berkembang.
Hal ini kemudian membuat Sultan Sambas marah apalagi kemudian terjadi pembunuhan oleh orang-orang Cina Kongsi terhadap petugas-petugas pengawas Kesultanan Sambas (yang adalah orang-orang Dayak) yang ditugaskan oleh Sultan Sambas untuk mengawasi kegiatan tambang emas Kongsi itu, sehingga kemudian Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Umar Aqamaddin II mengirimkan pasukan Kesultanan Sambas menuju daerah kongsi-kongsi yang melakukan makar dan pembakangan itu. Setelah gerakan pasukan Kesultanan Sambas telah berlangsung selama sekitar 8 hari dan belum sempat terjadi pertempuran besar antara pasukan Kesultanan Sambas dengan pihak kongsi, kemudian pihak kongsi itu ketakutan hingga kemudian mengakui kesalahannya dan bersedia untuk tetap membayar bagi hasil tambang emas kepada Sultan Sambas sesuai dengan kesepakatan sebelumnya yaitu sebesar 1 kg emas setiap bulannya.
Semakin lama jumlah Kongsi yang ada semakin bertambah dan pada sekitar tahun 1770 M, telah ada sekitar 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas dan saat itu terdapat 2 Kongsi yang terbesar yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1774 M terjadi pertempuran antara kedua buah kongsi terbesar di wilayah Kesultanan Sambas yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Kongsi Thai Kong kemudian berhasil mengalahkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong bubar.
Kedatangan Lo Fang Pak
Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah Kesultanan Sambas) pada usia sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.
Kedatangan orang-orang Cina dari daratan Cina ini adalah atas permintaan sultan-sultan Melayu saat itu yang mendatangkan para pekerja tambang emas dari daratan Cina yaitu untuk melakukan kerja-kerja tambang yang memang keahlian dan kesulitan pekerjaan tambang saat itu hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang Cina. Permintaan pekerja tambang dari Cina daratan saat itu merupakan satu trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai oleh kerajaan Melayu yang ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu di pesisir utara dan timur Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin I) baru kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir wilayah Pulau Kalimantan bagian barat.
Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan yang pertama mendatangkan pekerja tambang dari daratan Cina adalah Panembahan Mempawah yang waktu Rajanya adalah Opu Daeng Menambon yaitu pada sekitar tahun 1740 M. Kebijakan Panembahan Mempawah ini kemungkinan atas saran dari Adik Opu Daeng Menambon yaitu Opu Daeng Celak yang saat itu sedang menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu mendatangkan pekerja dari Cina daratan untuk tambang timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik. Namun demikian saat itu Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang Cina untuk pekerja tambang (emas) pertama kali adalah berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar mencari emas) yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.
Setelah itu didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina yaitu di daerah Mandor yang saat itu merupakan wilayah Panembahan Mempawah. Setelah beberapa tahun mengerjakan tambang emas di Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian mengindikasikan satu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir banyak mengandung emas. Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari Kesultanan Sambas yaitu daerah yang bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas mengenai potensi emas di Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas kemudian mengijinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang Cina dengan syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang dari Cina ini dan sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Maka kemudian dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750 M yaitu tambang emas kedua setelah di Mandor.
Sungguh di luar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas ini sangat melimpah ruah. Setelah Montraduk berturut-turut dibuka lagi tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat memuaskan. Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-orang China semakin melimpah ke wilayah Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga, sekampung halaman atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar tahun 1770 M telah ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di wilayah Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas itu adalah berada di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka masyarakat Hakka dari China yang bernama Lo Fong Pak ke daerah Kongsi yang ada di Wilayah Kesultanan Sambas.
Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di Mandor menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan diantara mereka dari ancaman pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara Kongsi Thai Kong dan Lan Fong di tahun 1774 M yang lalu. Salah satu dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo Fong Pak dengan Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasi Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi diwilayah Kesultanan Sambas tetapi adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).
Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah dimana 12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur pertambangan serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan orang-orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah Mandor saat itu juga terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu, berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas yang seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek).
Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah Muara Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada tahun 1771 M) yang terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak. Berdirinya Kesultanan Pontianak di Muara Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari Raja Kerajaan Landak karena secara historis wilayah muara Sungai Landak adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak. Namun VOC Belanda karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak mengendurkan protes kerasnya.
Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit banyak membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu sehingga inilah salah satu yang kemudian membuat Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan Mempawah padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan Mempawah.
Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Untuk mendukung serangan ini Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong untuk ikut serta dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Menghadapi serangan ini, Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.
Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak menjadi semakin kuat dan dekat sehingga kemudian Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) diberikan kewenangan yang lebih luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.
Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang yang di interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah "Republik Lan Fang" padahal didalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata Republik. Disamping itu kata Republik adalah untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat walaupun mendapat status otonomi khusus namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan merupakan suatu negara merdeka. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik Lan Fang" itu tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.
Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum untuk menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin "Ta Tang Chung Chang" atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin "Lan Fang Ta Tong Chi". Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).
Kejatuhan Lan Fong Kongsi
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya Daerah Otonomi Khusus tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya Kongsi Lan Fong tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua Kongsi kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani kesepakatan kerjasama dengan Belanda. Penandatanganan kesepakatan tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong dalam pengaruh Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan Kongsi Lan Fang. Kongsi Lan Fang kemudian kehilangan otonomi dan beralih dari daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang berpusat di Montraduk menolak diperintah oleh Belanda, sehingga Kongsi Tahi Kong diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Thai Kong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun. Perlawan Kongsi Thai Kong terhadap Belanda ini juga kemudian melibatkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong kemudian juga diserang Belanda dan ditaklukkan Belanda, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), Ketua Kongsi Lan Fong yang terakhir. Sebagian warga Kongsi Lan Fong kemudian mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi pemimpin boneka.
Langganan:
Postingan (Atom)